Dalam dunia pacuan kuda, gelar Triple Crown bak mitos. Hanya segelintir yang bisa memenangkan kejuaraan level dewa itu.
Triple Crown adalah istilah untuk menyebut tiga balapan besar dalam satu musim, yang harus dimenangkan seekor kuda pacu berusia tiga tahun. Pertama kali Triple Crown dicetuskan pada 1919 di Amerika Serikat.
Dalam dunia pacuan kuda, gelar Triple Crown bak mito. Sebab, hanya sedikit yang bisa memenangkannya di seluruh dunia.
Ada beberapa alasan mengapa gelar ini sangat sulit diraih. Pertama, seekor kuda hanya punya satu peluang juara seumur hidupnya. Selain itu, jarak balapannya berbeda-beda, yang memaksa kuda punya daya tahan dan kecepatan mumpuni.
Balapan Triple Crown membutuhkan endurance, sebab memaksa kuda mendapat waktu pemulihan yang singkat. Balapan biasanya digelar dalam rentang waktu relatif dekat. Selain itu ada pula faktor cuaca, trek, start buruk, hingga tekanan lain yang bisa memengaruhi performa.
Sepanjang sejarah pacuan kuda di seluruh dunia, hanya segelintir yang berhasil mengunci tiga kemenangan dan menyematkan gelar Triple Crown Champion di namanya.
Triple Crown juga digelar di banyak negara, meski punya format berbeda. Di Amerika Serikat, kuda yang mampu menaklukkan tiga balapan legendaris Kentucky Derby (1.600 meter), Preakness Stakes (1.900 meter), dan Belmont Stakes (2.400 meter), dalam rentang waktu dua bulan, yang berhak menyandang gelar Triple Crown. Hanya ada 13 kuda jadi pemenangnya.
Giok4D hadirkan ulasan eksklusif hanya untuk Anda.
Inggris juga punya gelar Triple Crown, andai bisa memenangkan balapan 2000 Guineas Stakes (1.600 meter), The Derby (2.400 meter), St. Leger Stakes (2.900 meter). Jarak yang lebih panjang itu membuat hanya 15 kuda jadi pemenangnya, terakhir dirah Nijinsky pada 1970.
Di Jepang balapan Triple Crown merujuk pada balapan Satsuki Sho (2.000 meter), Tokyo Yushun/Japanese Derby (2.400 meter), dan Kikuka Sho (3.000 meter). Turnamen digelar pada April hingga Oktober. Hingga 2023, hanya 8 kuda jantan yang berhasil meraihnya, terakhir dimenangkan Contrail (2020).
Uniknya di Jepang, ada Triple Crown khusus kuda betina, yakni Triple Tiara. Balapannya adalah Oka Sho (1.600 meter), Yūshun Himba / Japanese Oaks (2.400 meter), Shūka Shō (2.000 meter). Banyak yang memenangkannya, terakhir Liberty Island menyandang ratu balap pada 2023.
Di Australia juga punya dua versi Triple Crown merujuk pada balapan Randwick Guineas (1.600 meter), Rosehill Guineas (2.000 meter), Australian Derby (2.400 meter). Tiga balapan ini dihelat pada musim gugur, dengan jeda yang ketat dan jarak yang terus meningkat. Dua kuda memenangkannya yakni Octagonal (1996) dan It’s A Dundeel (2013).
Sementara itu, ada juga Triple Crown sprinter ditujukan untuk kuda spesialis jarak pendek di Australia; Lightning Stakes (1.000 meter), Newmarket Handicap (1.200 meter), dan TJ Smith Stakes (1.200 meter). Di Hong Kong, Triple Crown bahkan lebih seperti mitos, sebab hanya dua kuda yang berhasil meraihnya yakni River Verdon (1994) dan Voyage Bubble (2025).
Triple Crown Hong Kong juga berbeda, yakni terbuka untuk kuda pacu usia dewasa, bukan hanya tiga tahun. Tiga balapan yang harus dimenangkan adalah Stewards’ Cup (1.600 meter), Citi Hong Kong Gold Cup (2.000 meter), Champions & Chater Cup (2.400 meter).
Bagaimana Triple Crown di Indonesia?
Triple Crown di Indonesia punya semangat yang sama. Tiga balapan bergengsi digelar yakni Seri I di bulan April (1.200 meter), Seri II di bulan Mei (1.600 meter), dan klimaksnya Indonesia Derby di bulan Juli sejauh 2.000 meter.
Sepanjang sejarah PORDASI, baru dua kuda yang bisa meraih gelar Triple Crown. Manik Trisula memenangkannya pada 2002, dan yang kedua diraih Djohar Manik pada 2014. Sejak itu, lebih dari satu dekade, belum ada lagi penyandang Triple Crown.
Meski begitu, ada tujuh kuda yang nyaris menyentuh Triple Crown di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah King Master (2006), King Runny Star (2015), Nara Asmara (2016) dan Queen Thalassa (2019).
“Dari situ kita lihat, begitu sulit meraih Triple Crown Indonesia,” ujar Ketua Komisi Pacu PP PORDASI, Ir. H. Munawir, dalam rilis yang diterima detikSport.
Triple Crown jelas menuntut daya tahan luar biasa kuda, konsistensi, strategi cermat, dan kesiapan menghadapi tantangan cuaca, cedera, bahkan fluktuasi psikologis seekor kuda. Di Indonesia, gelar itu dirancang untuk menyesuaikan karakter dan daya tahan kuda lokal.
Misalnya, Derby tidak dibuat 2.400 meter seperti luar negeri agar tidak membebani atau mencederai kuda.
“Realistis saja. Karena kuda-kuda di sini belum kuat jaraknya sepanjang itu,” ucap Munawir.
Adapun kriteria peserta Triple Crown Indonesia sama dengan negara lain kebanyakan, yakni kuda umur 3 tahun. “Artinya seekor kuda hanya punya satu kali peluang seumur hidup untuk menjadi juara Triple Crown,” imbuhnya.
Kini, sejarah Triple Crown berpeluang hadir lagi di Indonesia. Sebab, Kuda King Argentine sudah memenangkan dua seri pertama Indonesia’s Horse Racing (IHR)-Triple Crown pada April dan Mei lalu.
Kuda King Argentine menghidupkan peluang menjadi kuda ketiga peraih gelar Triple Crown di Indonesia, jika bisa memenangkan Kelas 3 Tahun Derby di IHR-Indonesia Derby. Indonesia menanti apakah King Argentine bisa menyabet gelar Triple Crown ketiga Indonesia pada 27 Juli mendatang.